A.
Pengertian
dan Hakikat Tetangga
Pengertian
dari segi bahasa, bahwa kata "tetangga", yang dalam bentuk tunggal
bahasa Arab yaitu (الجار) dan jamaknya (جيران).[1] Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia tetangga yaitu (جاور).[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetangga berarti orang yang tempat
tinggalnya (rumahnya) berdekatan/jiran.[3]
Pengertian
yang sama dikemukakan WJS. Poerwadarminta bahwa tetangga yaitu orang setangga,
sebelah menyebelah.[4] Sutan Muhammad Zain menyatakan bahwa
tetangga yaitu jamak dari pada tangga.[5] Lebih lanjut, Al-Asfihani sebagaimana
dikutip Waryono Abdul Ghafur mendefinisikan bahwa tetangga dengan orang yang
rumahnya dekat dengan kita atau penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita,
sejak dari rumah pertama hingga rumah keempat puluh.
Namun,
ada juga yang berpendapat bahwa tetangga tidak dibatasi pada jumlah empat puluh
rumah. Yang jelas, apa yang dipraktekkan di sekitar kita dengan adanya RT atau
RW, sudah menunjukkan semangat al-Qur'an dalam bertetangga. Karena itu, yang
dinamakan tetangga bisa meliputi satu komplek perumahan atau bahkan lebih.[6]
Al-Qur'an
telah mengklasifikasi tetangga menjadi dua macam; tetangga dekat (al-jaar
dzi al-qurba) dan tetangga jauh (al-jaar al-junubi). Klasifikasi ini
disebutkan di dalam surat An-Nisaa': 36, di mana Allah Swt berfirman sebagai
berikut:
Artinya: Berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak,
karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, Ibnu sabil, dan hamba sahayamu. (QS. An-Nisa’: 36)
Hamka
mengatakan surat an-Nisa ayat 36, mengandung arti bahwa tetangga dekat yaitu
tetangga yang seagama, tetangga jauh yaitu tetangga yang berlainan agama.
Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf pelayakannya.
Ziarah-menziarahi pada suasana kegembiraan, lawat-melawat seketika ada yang
sakit, jenguk-menjenguk seketika ada kematian. Apabila seorang muslim mukmin
bertetangga dengan orang yang berlain agama, si muslim wajib lebih dahulu
memperlihatkan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan satu siasat
mengambil muka, tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan
pahala, haram dan wajib. Rasulullah Saw bertetangga dengan orang Yahudi di
Madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi pada suasana bertetangga, Rasulullah Saw
menunjukkan kemuliaan budi beliau.[7]
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa bertetangga artinya hidup bersama orang lain
dalam suatu lingkungan tertentu yang dekat atau yang jauh. Dimaksud tetangga
yang dekat ada pendapat menyalakan adalah orang-orang yang tinggalnya di dekat:
rumah, atau saudara dan keluarga sendiri, atau sesama muslim. Adapun tetangga
jauh adalah orang-orang lain atau mereka yang berbeda agama sekalipun rumahnya
berdekatan.
Secara
terminologi, Hamzah Ya'qub merumuskan bahwa tetangga adalah keluarga-keluarga
yang berdekatan dengan rumah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam
akhlaq. Tetangga adalah sahabat yang paling dekat setelah anggota keluarga
sendiri. Dialah yang lebih mengetahui suka duka dan dialah yang lebih cepat
dapat memberikan pertolongan pertama jika terjadi kesulitan, dibandingkan
dengan keluarga sendiri yang berjauhan tempat tinggalnya.[8]
Dengan
demikian, tetangga itu termasuk salah satu bentuk masyarakat juga, yaitu
masyarakat yang khusus berada di sekitar rumah tempat tinggal. Maka tentulah
juga hidup bermasyarakat dengan tetangga atau hidup bertetangga, membutuhkan
tetangga dan tidak mungkin memisahkan diri dari tetangga. Peranan tetangga bagi
kehidupan sangatlah penting dan sangat dirasakan, berhubung mereka itulah yang
berada di sekitar tempat tinggal. Demikian pentingnya, sehingga kadang-kadang
melebihi peranan keluarga atau famili sendiri yang tempatnya jauh. Kalau sedang
punya kerja, sedang mendapat sesuatu kesusahan seperti kematian, kecurian atau
kecelakaan-kecelakaan yang lain, tetangga-tetangga itulah yang pertama-tama membantu
atau menolong, sebelum orang-orang lain termasuk keluarga sendiri datang
menjenguk.[9] Dengan
demikian, maka tetangga adalah unsur penting dalam bermasyarakat, karena dengan tetangga, maka akan dapat mewujudkan
saling bekerja sama dalam membangun
masyarakat.
B.
Manusia
Sebagai Makhluk Sosial
Manusia
tercipta sebagai mahluk pribadi sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk
pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan
hidup. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia tidak dapat hidup sendiri.
Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya dengan berinteraksi
dengan manusia lain sebagai mahluk sosial. Kehidupan bersama manusia baik
sebagai mahluk pribadi maupun mahluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan
tertentu. Oleh karena itu, manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya.
Aturan-aturan berupa nilai dan norma sosial diciptakan dan disepakati bersama
untuk mencapai ketentuan dan kenyamanan hidup bersama dengan orang lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi
dengan sesamanya dan cenderung membutuhkan yang lainnya dalam mengisi rentetan
kehidupannya. Terlebih lagi dengan orang yang paling dekat tempat tinggalnya,
yaitu tetangga. Oleh karena itulah
syari’at Islam datang dengan ajaran yang sangat agung dalam mengatur hubungan
seseorang dengan tetangganya. Dengan demikian, maka dalam kehidupan lingkungan
sosial manusia senantiasa terkait dengan interaksi antara individu manusia,
interaksi antar kelompok, kehidupan sosial manusia dengan lingkungan hidup dan
alam sekitarnya, berbagai proses sosial dan interaksi sosial dan berbagai hal
yang timbul akibat aktivitas manusia seperti perubahan sosial.
Manusia
sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan di mana ia tinggal baik dalam hubungannya
dengan sesama manusia yang bersifat sosial,
politik, ekonomi ataupun budaya (kepercayaan). Dalam kehidupan sehari-hari antara individu dengan lingkungan tersebut
terjalin keselarasan, keseimbangan dan
keharmonisan agar terwujud kehidupan yang aman dan
sejahtera. Kondisi-kondisi itu akan tercipta manakala bersumber dan
didasari nilai-nilai luhur, sehingga akan
menghasilkan buah yang baik. Misalnya, dalam hal ini dimensi budaya yang merupakan
produk karsa, rasa dan cipta manusia.[10]
Setiadi
menjelaskan bahwa selama manusia hidup ia tidak akan terlepas dari pengaruh masyarakat,
di rumah, di sekolah dan di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari
pengaruh orang lain. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai mkhluk sosial
yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
manusia lain.[11]
Di
dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, setiap orang akan mengenal orang
lain. Oleh karena itu perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain, ia
malakukan sesuatu di pengaruhi faktor dari luar dirinya, seperti tunduk pada
aturan, tunduk pada norma masyarakat dan keinginan mendapat respon positif dari
orang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial dikarenakan pada diri
manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada
kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Kebutuhan untuk
berteman dengan orang lain, sering kali didasari atas kesamaan ciri atau
kepentingannya masing-masing. Dengan demikian, akan terbentuk kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan.
Pada
umumnya di tengah-tengah masyarakat pasti akan munculnya suatu masalah atau gejala
sosial. Masalah sosial merupakan realitas sosial yang komplek sehingga sumber
masalahnya juga bersifat komplek. Masalah sosial terjadi karena ada sesuatu masalah
dalam kehidupan sosial. Dengan demikian mendiagnosis masalah sosial berarti
mencari apa dan siapa yang dianggap bersalah dalam realitas kehidupan sosial
tersebut.[12] Oleh
sebab itu sumber penyebab masalah dapat berasal dari level individu maupun
sistem. Guna penanganan masalah sosial yang lebih komprehensif, kedua
pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam mendiagnosis
masalah. Apabila sumber masalahnya berasal pada level sistem, maka pemecahan
masalahnya tidak akan efektif jika hanya merupakan penanganan pada individu
penyandang masalah.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
saling berinteraksi satu sama lain. Manusia tidak mampu mencukupi kebutuhannya
sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bertetangga adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Setiap orang yang
akan membangun sebuah bangunan (rumah) tidak mungkin akan memilih lokasi di
tengah hutan atau gunung yang jauh dari keramaian dan tanpa akses jalan. Tetapi
mereka pasti lebih memilih tempat yang strategis dengan akses jalan yang mudah
dan lokasi yang sudah dihuni oleh banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki naluri untuk hidup bersosial dan bertetangga dengan orang
lain.
[1]Ahmad
Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 222.
[2]Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, 1973), h. 94.
[3]Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 1187.
[4]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 1065.
[5]Sutan
Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Grafika, tth), h. 990.
[6]Waryono
Abdul Gahfur, Tafsir Sosial Mendialogkan
Teks Dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 159.
[7]Hamka, Tafsir
Al Azhar, juz, V, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1999), h. 65.
[8]Hamzah
Ya'qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 155.
[9]Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h.
142-143.
[10]Joko
Tri Prasetya, Dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 93
[11]M. Setiadi, Ilmu Sosial Dan Budaya
Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 63.
[12]Soetomo,
Efektifitas Kebijakan Sosial Dalam Pemecahan Masalah Sosial, Dimuat
dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 15, Nomor 1, Juli 2011, h.
15-28.
No comments:
Post a Comment