Pemanoe pucoek (mandi pucuk) adalah salah satu tradisi adat yang berkembang di daerah Aceh Selatan termasuk juga di Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara bahkan sampai saat ini, peumanoe pucoek bagi calon kedua mempelai sebelum melangsungkan acara akad nikah masih tetap dilestarikan walaupuun sudah berhadapan dengan zaman modern yang banyak berpengaruh dengan budaya luar. Prosesi adat ini adalah salah satu tradisi yang diwariskan oleh para nenek moyang zaman dulu. Namun demikian di Gampong Pulo Ie I, tradisi peumanoe pucoek ini sudah tidak dilakukan oleh semua masyarakat yang membuat pesta perkawinan maupun sunat Rasul. Kenyataan tersebut karena dipengaruhi oleh berbagai factor baik intern maupun ekstern.
Menurut penjelasan Ibu Nur Asmah bahwa
tradis peumanoe dara baro artinya memandikan calon mempelai
perempuan yang sampai saat ini masih terus dibudayakan dalam masyarakat Gampong
Pulo Ie I. Sebelum masuk pada upacara peumanoe, biasanya juga
dilakukan peusijuk. Upacara peumanoe mengandung makna
bahwa calon dara baro sudah dirawat agar badannya bersih dan
kulitnya halus. Namun, upacara ini bukan hanya untuk mempelai perempuan saja.
Calon pengantin laki-laki juga menjalani upacara peumanoe.[1]
Lebih
lanjut, menurutnya penjelasan Bapak Muhammad Najib Husfa bahwa peumanoe pucoek selain bertanda akan
melepas masa lajang, siraman yang dilakukan oleh pemuka adat, kedua orang tua
atau wali dan family dekat juga bertujuan untuk membersihkan diri.[2]
Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa prosesi peumanoe
pucoek dalam masyarakat Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara khususnya
terhadap calon pengantin baru baik dara
baro maupun linto baro merupakan
suatu bertanda bahwa yang bersangkutan akan melepaskan masa lajangnya dan oleh
sebab itu, mereka membutuhkan doa dan bimbingan serta permohonan maaf kepada
kedua orang tua, sanak saudara serta masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana
diketahui bahwa prosesi tradisi peumanoe
pucoek ini menggunakan pucuk daun nyiur. Daun nyiur dianyam oleh para
ibu-ibu dengan beragam bentuk, salah satunya berbentuk dan berukuran seperti
bola kasti, bola-bola tersebut disambung menjadi beberapa bola dari beberapa
daun nyiur tersebut. Antara satu bola dengan bola lainnya saling melekat serta
pada bagian bola-bola disisakan sebuah lobang yang gunanya agar bisa masuk air
yang disediakan dalam baskom atau sejenisnya saat proses pemandian. Adapun lidi
yang ada pada nyiur itu tidak dibuang melainkan dijadikan sebagai tangkai.
Kesannya nyiur-nyiur tersebut dibentuk seperti ember yang bertangkai berbentuk
bola. Proses pemandiannya tidak memakai ember atau tempat lain, selain hanya
menggunakan nyiur anyaman tersebut, untuk pengantin laki-laki dan pengantin
khitanan mereka harus dipangku oleh kerabat dekat. Hal ini dilakukan untuk
memuliakan si pengantin. Pemandian yang menggunakan anyaman nyiur tersebut juga
mempunyai aturan tertentu.[3]
Selanjutnya,
pengantin akan dimandikan dengan air boh
beululuk di tempat duduknya itu: tentu saja pakaiannya diganti dulu.
Biasanya ada suatu “kejahilan” saat berlangsungya tradisi peumanoe pucoek, di mana menyiram para penonton di sekeliling
tempat pengantin diseumano dengan air
tersebut. Pengantin yang diseumanoe
biasanya dipangku oleh seorang kawan-sesama jenis-atau keluarganya. Selain dari
air dalam timba besar itu, terakhir juga dibawakan air di dalam cawan besar
yang telah dicampur dengan berbagai bunga, akar rumput wangi, serai wangi, dan
kulit jeruk purut yang disebut ie limee.[4]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahi bahwa calon mempelai, baik perempuan maupun
laki-laki dimandikan oleh orang tua mereka, tetua adat dan beberapa
keluarga terdekat. Biasanya jumlah mereka yang memandikan harus ganjil (tidak
boleh genap). Selama upacara, calon pengantin dibacakan doa-doa agar menjelang
perkawinan mereka dalam keadaan suci lahir dan batin. Dalam upacara itu,
mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat
dan kadang-kadang diselingi lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan
kepada keluarga atau nasihat bagi mempelai.[5]
Menurut
Ibu Rosmalawati mengatakan bahwa air yang digunakan untuk siraman itu juga
dicampur dengan berbagai jenis dedaunan dan bunga seperti daun manek mano,
jeruk purut dan beberapa jenis ilalang. Dedaunan dan kembang itu dicampur dalam
sebuah ember dan secara bergantian para tokoh adat, orang tua serta sanak
famili menyirami calon pengantin wanita. Setelah acara siraman kemudian
dilanjutkan dengan tepung tawar (peusijuek)
yang dilakukan juga oleh tokoh adat, kedua orang tua serta sanak family dari calon
pengantin wanita tersebut.[6]
Peusijuek (pendingin: tepung tawar)
adalah adat istiadat lama yang sudah beradaptasi dengan budaya Islam. Peusijuek dilakukan untuk memberi
semangat, doa dan restu kepada orang yang dituju. Pada pernikahan maka kedua
belah pihak keluarga akan melakukan peusijuek
ditiap kesempatan, biasanya sebelum dan setelah ija kabul, ketika dipelaminan
di kedua acara. Demikian juga halnya peusijuk
adakalanya juga dilakukan setelah acara peumanoe
pucoek.
Air
yang digunakan untuk peumanoe pucoek dicampur
dengan berbagai jenis bunga-bunga yang wangi seperti bunga selanga, bunga
jeumpa, serta berbagai macam dedaunan seperti, daun manek mano, rumput ilalang,
daun kelapa muda dan jeruk purut. Proses peumanoe
pucoek biasanya sebelum proses pemandian. Calon pengantin dara baroe “pengantin wanita”
dikelilingi bersama-sama oleh para penari. Jumlah penarinya biasanya 8
(delapan) orang dan sambil bersyair dengan kata kata nasehat sambil
bertepuk-tepuk tangan tentang kehidupan rumah tangganya kelak, sebelum acara peumanoe pucoek para peseni memanggil
kedua orang tua calon pengantin dara
baroe untuk naik ke atas panggung untuk berjabat tangan dalam arti untuk
memohon restu dari kedua orang tua tersebut. Tidak hanya orang tuanya saja
dipanggil kedepan, akan tetapi juga semua keluarga yang berkaitan dengan dara baroe untuk naik ke atas panggung
sebelum proses peumanoe pucoek.
Selanjutnya siraman air, disinilah kedua calon mempelai “linto baro dan dara baro”
dimandikan oleh kedua orang tua calon mempelai tersebut setelah acara peumanoe pucoek, dilanjutkan yang
terakhir dengan peusijuk dengan
menggunakan daun rumput ilalang dan beras.[7]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam
upacara peumanoe pucoek adalah
pengantin perkawinan, baik pria maupun wanita, dan pengantin sunat Rasul.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara selain tuan rumah sebagai
penyelenggara upacara peumanoe pucoek,
juga terlibat di dalamnya seluruh anggota dan kerabat. Para anggota keluarga
dan kerabat ini, ikut menyediakan persiapan benda-benda upacara. Selain pihak
di atas, (jika ada) kelompok kesenian yang biasa membawakan syair peumanoe pucoek juga merupakan pihak
yang terlibat di dalam pelaksanaan upacara. Pimpinan kelompok kesenian tersebut,
dan anggota penarinya memegang peranan penting di dalam pelaksanaan upacara peumanoe pucoek. Karena dengan adanya
kelompok (grup) syair inilah semua yang hadir menyaksikan peumanoe pucoek akan merasa kemeriahan dan tentunya akan terhibur
dengan berbagai syair-syair yang dilaksanakan termasuk diantaranya adalah syair
khusus “peumanoe pucoek” atau syair
khusus pada tradisi khitan (sunat Rasul) yaitu syair “Hasyem melangkah”.
Pada
saat peresmian perkawinan, pelaksanaan peumanoe
pucoek dilaksanakan sehari sebelum pesta perkawinan atau setelah malam
ketiga berinai. Pelaksanaan upacara ini dilakukan baik di rumah pengantin
perempuan, maupun di rumah pengatin laki-laki dengan waktu selisih satu hari.
Misalnya di rumah pengantin perempuan upacara dilaksanakan pada hari sabtu,
maka di rumah pengantin laki-laki akan dilksanakan pada hari minggu (selang
sehari). Pada umumnya pelaksanaan peumanoe
pucoek dilaksanakan antara pukul 10.00 Wib sampai dengan pukul 14.00 WIB.
(pukul 2 siang).[8]
Adapun
pada saat sunat Rasul, peumanoe pucoek
yang diselenggarakan saat sunat Rasul ini adalah untuk anak laki-laki dan juga
anak perempuan. Penyelenggaraan upacara peumanoe
pucoek pada saat sunat Rasul, tidak ada perbedaan yang menyolok dengan peumanoe pucoek yang diselenggarakan
pada saat peresmian perkawinan. Namun perbedaannya terletak pada syair yang
disampaikan oleh grup syair atau syeh (pimpinan dari kelompok kesenian).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tradisi peumanoe pucoek yang dipraktekkan oleh masyarakat Gampong Pulo Ie I
Kecamatan Kluet Utara tidak ada perbedaan dengan yang dilaksanakan oleh
masyarakat-masyarakat lain khususnya dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan.
Walaupun masyarakat Kabupaten Aceh Selatan memiliki 3 (tiga) suku yaitu suku Aceh, Aneuk Jamee dan suku Kluet, namun tradisi peumanoe pucoek terhadap pengantin baik dara baro, linto baro maupun sunat Rasul dilaksanakan dengan model yang sama.
Masih terus dikembangkan dan dipeliharanya tradisi
atau budaya Aceh oleh masyarakat Gampong Pulo Ie I merupakan suatu hal yang
patut diapresiasi dan harus terus dipertahankan. Demikian juga halnya dengan
tradisi peumanoe pucoek yang saat ini
sudah mulai diabaikan oleh sebagian masyarakat khususnya bagi masyarakat yang
berdomisili di Gampong Pulo Ie Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan
perlu mendapatkan kepedulian khususnya pihak pimpinan adat yang ada di Gampong
tersebut, agar tradisi yang sudah ada terus dipertahankan dan dikuatkan dengan
berbagai upaya yang harus ditempuh dan adanya kerjasama antara semua pihak
terkait baik dari instansi pemerintah maupun kesadaran masyarakat pada umumnya
terkait dengan pelestarian tradisi peumanoe
pucoek.
[1]Hasil Wawancara
dengan Nur Asmah, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[2]Hasil Wawancara
dengan Nur Asmah, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 15 September 2014.
[3]Hasil Wawancara
dengan Rosmalawati, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[4]Hasil Wawancara
dengan Nur Asmah, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[5]Hasil
Observasi pada Lokasi Penelitian (Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 10-17 September 2014.
[6]Hasil Wawancara
dengan Rosmalawati, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[7]Hasil Wawancara
dengan Nur Asmah, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[8]Hasil
Observasi pada Lokasi Penelitian (Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 10-17 September 2015.
No comments:
Post a Comment