Sebelum
membahas lebih lanjut mengenai tradisi peumanoe
pucoek secara khusus, sepintas perlu dijelaskan dulu mengenai upacara
pernikahan dalam masyarakat Aceh secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan agar
mengetahui keberadaan prosesi peumanoe
pucoek di dalam upacara tersebut.
Sebagaimana
diketahui bahwa dalam adat pernikahan Aceh, proses melamar seorang gadis akan
dilakukan oleh seorang yang dianggap bijak oleh pihak keluarga lelaki, biasa
disebut sheulangke. Sheulangke akan
menyelidiki status gadis tersebut, jika memang masih single (belum punya calon
yang sah), maka sheulangke akan
mencoba untuk melamar gadis tersebut.
Pada
acara lamaran adat pernikahan Aceh yang telah ditentukan harinya, biasanya dari
pihak lelaki akan datang bersama dengan orang yang dituakan ke rumah gadis
dengan membawa berbagai macam syarat seperti pineung reuk, gambe, gapu, cengkih, pisang raha, dan pakaian adat
Aceh. Setelah proses lamaran selesai, selanjutnya pihak wanita akan meminta
waktu untuk membicarakan hal lamaran ini kepada anak gadisnya. Apakah akan
diterima atau tidak lamaran pihak lelaki akan tergantung dari musyawarah
keluarga pihak wanita. Selanjutnya bila lamaran dari pihak lelaki di terima,
maka akan ada beberapa prosesi yang harus dilakukan sebelum menuju acara pernikahan.
Ada
beberapa tahapan atau proses yang harus dilakukan dalam adat perkawinan Aceh,
yaitu sebagai berikut:[1]
a.
Tahapan melamar (Ba
Ranup)
Ba Ranup (ba-membawa ranup-sirih)
merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana
pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan.
Untuk
mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak
keluarga akan mengirim seorang yang dirasa bijak dalam berbicara (disebut sheulangke) untuk mengurusi perjodohan
ini. Jika sheulangke telah
mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia akan meninjau status
sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud
melamar gadis itu.
Pada
hari yang telah disepakati datanglah rombongan orang-orang yang dituakan dari
pihak pria ke rumah orangtua gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan
berikut isinya. Setelah acara lamaran selesai, pihak pria akan mohon pamit
untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah dengan
anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.
b.
Tahapan Pertunangan (Jak
ba Tanda)
Bila
lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukong haba (peukong-perkuat, haba-pembicaraan)
yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeulamee) yang diminta dan berapa banyak tamu yang akan diundang.
Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jak ba tanda, jak-pergi, ba-membawa tanda-tanda, artinya berupa pertanda
sudah dipinang-cincin).
Pada
acara ini pihak pria akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng (ketan berwarna kuning)
dengan tumphou, aneka buah-buahan,
seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan
keluarga pria. Namun bila ikatan ini putus di tengah jalan yang disebabkan oleh
pihak pria yang memutuskan maka tanda emas tersebut akan dianggap hilang.
Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda emas tersebut harus
dikembalikan sebesar dua kali lipat.
c.
Pesta Pelaminan
Sebelum
pesta perkawinan dilangsungkan, tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (memakai inai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan. adat ini kuat dipengaruhi oleh India dan Arab. Namun sekarang adat
tersebut telah bergeser menjadi pengantin perempuan saja yang menggunakan inai.
Namun di beberapa wilayah di pantai Barat-Selatan, calon pengantin pria juga di
pakaikan inai (boh gaca).
Kemudian
dilakukan persiapan untuk ijab-kabul.
Dahulu ijab-kabul dapat dilakukan di
KUA atau di meunasah, mushalla atau
mesjid dekat rumah tanpa dihadiri pengantin wanita. Namun sekarang berkembang
dengan ijab-kabul yang dilakukan di
Mesjid-mesjid besar terutama di Mesjid Raya Baiturrahman, yang dihari kedua
mempelai berserta keluarga dan undangannya. Ijab-kabul
pengantin pria kepada wanita dihadiri oleh wali nikah, penghulu, saksi dan
pihak keluarga.
Biasanya
lafaznya berupa bahasa Aceh "ulon
tuan peunikah, aneuk lon (apa bila ayah perempuan yang mengucapkan) ....
(nama pengantin perempuan) keu gata
(nama pengantin laki-laki) ngon meuh
... (jumlah mahar yang telah disepakati) mayam".
Jawabannya
ulon tuan terimong nikah ngon kawen …
(nama pengantin) ngon meuh ...
(jumlah mahar yang telah disepakati) mayam, tunai". Ada beberapa lafaz
yang berbeda, disesuaikan dengan kesepakatan dan adat setempat.
Pesta
pelamina dilakukan setelah melangsungkan ijab-kabul
antara sang calon pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan, Baik dilakukan
pada hari yang sama maupun pada lain hari, yaitu disebut juga acara tueng linto baro. Pesta pelaminan ini
bertujuan selain merayakan kebahagian juga untuk memperkenalkan kedua mempelai
kepada seluruh kaum kerabat.[2]
Umumnya
dalam kehidupan dan tradisi masyarakat di Kabupaten Aceh Selatan, jika setelah
menikah tak langsung melaksanakan resepsi atau kenduri, linto biasanya pulang ke rumah orangtuanya terlebih dahulu,
menunggu hari kenduri tiba, barulah dia akan tinggal di rumah dara baroe. Tidak ada yang melarang
sebenarnya. Tapi hal ini sudah menjadi aturan tak tertulis dalam pergaulan di
Aceh Selatan. Kata mertua saya, orang-orang tua dulu jika menikah dan
kendurinya tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, linto akan pulang ke rumah orangtuanya terlebih dahulu. Tidak akan
terasa istimewa lagi jika linto sudah
tidur duluan di rumah dara baroe karena
si linto sudah melihat bagaimana dara baroe-nya. Sementara di hari
kenduri, yang diharapkan adalah linto
belum melihat dara baroe-nya.
Makanya, para tetua adat kampung mengharapkan sebaiknya kendurinya jangan
terlalu lama dilaksanakan setelah akad nikah untuk menghindari kerinduan yang
menggebu antara linto dan dara baroe.[3]
Saat
ini, adat seperti ini sudah jarang yang melaksanakannya. Bisa karena berbagai
faktor; karena anggapan sudah resmi sebagai suami istri atau perhelatan kenduri
yang lebih lama waktunya dari akad nikah. Tapi di kampung-kampung seperti
beberapa kampung di Aceh Selatan, masih melaksanakan adat ini termasuk di
Gampong Pulo Ie Kecamatan Kluet Utara.
d.
Tueng Lintoe Baroe
Tueng linto baroe (tueng-menerima, linto-laki-laki,
baroe-baru) yaitu menerima pengantin
pria adalah yaitu menerima pengantin laki-laki oleh pihak perempuan, penerimaan
secara hukum adat atau dalam tradisi Aceh. Pengantin laki-laki datang ke pesta
beserta rombogan (keluarga dan kerabat). Rombongan disuguhkan hidangan khusus
disebut idang bu bisan (idang-hidangan, bu-nasi bisan-besan).
Setelah selesai makan, maka rombongan linto
baro minta izin pulang kerumahnya, sedangkan pengantin pria tetap tinggal
untuk disanding dipelaminan hingga acara selesai.
e.
Tueng Dara Baroe
Tueng dara baroe adalah suatu hal yang
dilakukan oleh pihak laki-laki dengan kata lain adalah penjemputan secara hukum
adat atau dalam tradisi Aceh. Acara ini sama dengan yang di atas namun pihak
perempuan yang pergi ke acara pihak laki-laki.
Intat linto adalah acara mengantar linto ke rumah dara baroe pada saat diadakannya khenduri pernikahan di rumah dara
baroe. Sementara acara mengantar dara
baroe ke rumah linto atau yang
disebut tueng dara baroe dilakukan
pada saat diadakannya kenduri di rumah si linto.
Tapi biasanya hal ini tidak wajib karena sudah dilakukan salah satu syarat
untuk syiar kepada khalayak yaitu kenduri di rumah dara baroe. Namun jika keluarga linto
tetap ingin melakukan kenduri di rumah mereka, lengkaplah adat intat linto dengan dibarengi acara tueng dara baroe sesudahnya. Biasanya, keluarga-keluarga yang ingin
tetap melaksanakan kenduri karena hal-hal berikut; berada di daerah yang
berbeda dengan daerah dara baroe,
atau karena permintaan keluarga dara
baroe yang menginginkan adanya acara tueng
dara baroe atau intat dara baroe.[4]
Acara intat linto ini bisa dilakukan dari
mana saja. Bila linto tinggal jauh
dari tempat diadakannya kenduri di rumah dara
baroe, biasanya dua atau tiga hari sebelum hari H, linto sudah datang duluan ke kampung si dara baroe sementara keluarganya baru akan tiba malam sebelumnya
atau di hari kenduri. Linto bisa
menumpang menginap di rumah salah satu saudara dara baroe.
f.
Mahar (Jeulamee)
Dalam
adat istiadat orang Aceh, hanya
dikenal mahar berupa emas dan uang. Mahar ditiap Aceh berbeda. Mahar berupa
emas yang diberikan sesuai kesepakatan, biasanya berjumlah antara belasan
sampai puluhan mayam. Di wilayah-wilayah tertentu seperti di Aceh Selatan,
mahar yang diajukan dibawah belasan tapi menggunakan uang tambahan yaitu
disebut "peng angoh" (peng-uang, angoh-hangus). Hal ini dilakukan untuk membantu pihak perempuan
untuk menyelenggarkan pesta dan membeli isi kamar. Mahar biasanya ditetapkan
oleh pihak perempuan dan biasanya kakak beradik memiliki mahar yang terus naik
atau minimal sama. Namun semua hal tentang mahar ini dapat berubah-ubah sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, peng
angoh juga dapat dikatakan sebagai uang yang akan di hanguskan atau
digunakan untuk acara pesta perkawinan.
g.
Idang dan Peuneuwoe
Idang (hidang) dan peunuwo atau pemulang adalah hidangan yang diberikan dari pihak
pengantin kepada pihak yang satunya. Biasanya pada saat intat linto baro (mengantar pengantin pria), rombongan membawa idang untuk pengantin wanita berupa
pakaian, kebutuhan dan peralatan sehari-hari untuk calon istri. dan pada saat Intat dara baro (mengantar pengantin
wanita), rombongan akan membawa kembali talam yang tadinya diisi dengan
barang-barang tersebut dengan makananan khas Aceh seperti bolu, kue boi, kue karah, wajeb dan sebagainya, sebanyak talam yang
diberikan atau boleh kurang dengan jumlah ganjil.[5]
Adat
membawa-bawa baik barang ataupun kue dalam adat Aceh sangatlah kental apalagi
dalam sebuah keluarga baru. Saat pengantin baru merayakan puasa pertama atau
lebaran pertama dan pergi kerumah salah satu kerabatnya untuk pertama kali maka
wajiblah dia membawa makanan. Dan adat ini terus berlangsung hingga sang istri
punya anak, yakni mertua membawa makanan dan sang istri membalasnya.
h.
Peusijuek
Peusijuk yaitu dengan melakukan upacara
tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki pengantin dengan
air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, on seukee
pulut, on gaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini
dilakukan oleh beberapa orang yang dituakan (sesepuh) sekurangnya lima orang.
Peusijuek (pendingin: tepung tawar)
adalah adat istiadat Aceh dari India yang sudah sudah beradaptasi dengan budaya
Islam (Islamisasi). Peusijuek
dilakukan untuk memberi semangat, doa dan restu kepada orang yang dituju. Pada
pernikahan maka kedua belah pihak keluarga akan melakukan peusijuek ditiap kesempatan. Biasanya sebelum dan setelah ijab-kabul, ketika dipelaminan di kedua
acara. Peusijuek adalah salah satu
tradisi Aceh yang dilakukan pada kegiatan apapun seperti naik haji,
mempergunakan barang baru seperti rumah atau kendaraan, bayi yang turun tanah,
ibu yang hamil dan sebagainya.[6]
Tetapi
saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak
perlu dilakukan lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi
dikalangan ureung chik (orang yang
sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak
dilaksanakan dalam upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang
lagi kepada pihak keluarga selaku pihak penyelenggara, apakah tradisi seperti
ini masih perlu dilestarikan atau tidak kepada generasi seterusnya.
Adat-istiadat
sebagaimana diuraikan di atas merupakan tradisi yang biasanya dilakukan “suku
Aceh”. Hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah hilang di dalam
kultur budaya Aceh (khususnya suku Aceh) dan sekitarnya. Untuk daerah-daerah
tertentu di Aceh atau untuk suku-suku lainnya, mungkin ada beberapa penambahan
dan pengurangan. Namun secara umum, proses pelaksanaannya sama. Terkait dengan peumanoe pucoek, ini menjadi khususnya
di beberapa wilayah/ kabupaten saja dan masing-masing kabupaten juga terdapat
beberapa perbedaan dalam proses pelaksanaanya.
Khusus pada penelitian atau pembahasan ini, penulis
hanya akan membahas hasil penelitian seumanoe pucok bagi masyarakat Aceh
Selatan, tepatnya di Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara. Dalam penelitian
ini, peneliti mengkaji berbagai hal terkait dengan pelaksanaan tradisi peumanoe pucoek, tanggapan masyarakat
dan kendala yang dihadapi dalam pelestarian peumanoe
pucoek di Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan.
[1]Pemerintah
Aceh, Seuramoe Informasi Pemerintah Aceh,
http://acehprov. go.id/ jelajah/ read/
2014/01/22/68/upacara-adat-perkawinan-aceh.html, Diakases Tanggal 5 September
2015.
[2]Hasil Wawancara
dengan Rosmalawati, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[3]Hasil Wawancara
dengan M. Najib Hufsa, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet
Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 15 September 2014.
[4]Hasil
Observasi pada Lokasi Penelitian (Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 10-17 September 2014
[5]Hasil Wawancara
dengan Nur Asmah, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[6]Hasil Wawancara
dengan Tgk. Basri, (Tokoh Agama Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 14 September 2014.
No comments:
Post a Comment