- Landasan Pembinaan Ibadah
Allah
Swt membimbing dan menunjukkan jalan yang lebih lurus dan lebih aman untuk
mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Jalan yang paling lurus dan
paling aman adalah jalan yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur'an. Sedangkan
Al-Qur'an adalah kitab Allah Swt yang terjaga kebenarannya. Maka hanya dengan
mengikuti petunjuk Al-Qur'an kebahagiaan hakiki manusia dapat diperoleh. Oleh
karena itu komitmen manusia dalam mengambil petunjuk ibadah sebagai suatu cara
tetap berpegang teguh di jalan Allah Swt serta melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Dengan bentuk ibadah amal shaleh sebagaimana yang
ditunjukkan Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 104, yaitu:
ولتكن منكم أمة
يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (آل عمران:
١٠٤)
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)
Ayat di atas
menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk saling mengingatkan atau
menyuruh dalam hal kebajikan dan melarang dalam hal kemungkaran. Adapun perintah
tersebut adalah perintah untuk mena’ati aturan-aturan Allah Swt yang juga
termasuk didalamnya tanggungjawab orang tua dalam segi pembinaan ibadah
khususnya terhadap anak dalam lingkungan keluarga.
Pembinaan ibadah terhadap anak merupakan
suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang tua dalam lingkungan keluarga. Karena
bila tidak dibiasakan dengan hal-hal yang baik semenjak anak masih kecil, maka
akan susah diberikan pembinaan ibadah ketika anak sudah beranjak remaja apalagi
kalau sudah dewasa. Adapun landasan pembinaan ibadah yang merupakan
tanggungjawab orang tua dapat diketahui sebagaimana terdapat pada hadis
berikut:
عن أبى هريرة رضى
الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل مولد يولد على الفطرة فأبواه
يهودانه أوينصرانه أويمجسانه (رواه البخارى)
Artinya: ”Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ’anhu berkata Rasulullah Saw:
Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah
yang mendidik ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari). [1]
Salah satu hadis yang langsung memerintahkan kepada orang tua
untuk membina ibadah shalat terhadap anak pada usia tujuh sampai sepuluh tahun
dan seterusnya adalah sebagaimana sabda Rasulullah Saw yaitu:
عن
أبى هوريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولاداكم
بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر سنين (رواه أبو
داود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat di waktu mereka meningkat umurnya
tujuh tahun dan pukullah (kalau enggan) melakukan shalat di waktu mereka
meningkat usianya sepuluh tahun”. (HR Abu Daud). [2]
Oleh karena itu manusia akan selalu
berusaha mendekatkan diri pada Allah Swt sesuai dengan agama yang dianutnya.
Itulah sebabnya bagi orang muslim diperlukan adanya pembinaan ibadah agar dapat
mengarahkan fitrah mereka ke arah yang benar sehingga dapat mengabdikan diri
dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Karena tanpa adanya upaya pembinaan ibadah
dari satu generasi kegenerasi berikutnya maka akan semakin jauh dari Allah Swt.
- Tujuan Pembinaan Ibadah
Allah
Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh
fil Ardhi dengan missi memimpin, mengelola, memakmurkan dan memelihara
keselamatan alam semesta. Untuk kepentingan tersebut Allah Swt menurunkan agama
Islam, agar dengan berpegang pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan
tugas kekhalifahannya sesuai dengan
maksud Allah Swt. Dengan tugas dan fungsi serta tanggungjawab manusia seperti
tersebut di atas, Allah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling sempurna
lagi dimuliakan.
Manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur
tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus
mendapat perhatian dan pembinaan yang seimbang. Unsur jasmani bersifat materi,
kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seeperti sandang,
pangan dan papan, Sedang unsur rohani bersifat immateri, oleh karena itu
kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, seperti ajaran
akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu
mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistik atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan
immateri, maka ia akan menjadi immaterialistik atau spiritualistik.[3]
Manusia mengalami dua bentuk kehidupan,
yaitu kehidupan pertama di dunia dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di
dunia adalah sementara yang sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi atau kekal.
Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan bagaimana
nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas hidupnya di
dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia akhirat
dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat.[4]
Allah Swt menjadikan manusia bukan sekedar
untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawab, melainkan
diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada kehendak Allah Swt dan akan
diminta pertanggungjawaban. Hal ini dapat difahami berdasarkan firman Allah Swt
dalam surat al-Mukminuun ayat 115, yaitu:
أفحسبتم أنما
خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون (المؤمنون: ١٠٥)
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya
kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami”. (QS. Al-Mukminun: 115)
Islam adalah agama rahmatan lil alamin atau rahman bagi seluruh alam. Oleh
karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada segenap perintah
dan larangan Allah Swt. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih hatinya dan
baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan,
sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan
2. Tanggungjawab Pembinaan Ibadah
Di
antara tanggungjawab atau kewajiban-kewajiban orang tua dalam keluarga, adalah
memberikan didikan-didikan agama kepada anggota keluarga itu sendiri.
Pendidikan dan pengajaran agama harus dimulai dari keluarga. Artinya anak yang
datang dari keluarga muslim harus mengetahui dan menerima Islam dari lingkungan
keluarga, bukan dari tempat yang lain. Karena pelajaran yang telah diterima
sejak masa kanak-kanak, akan membuatnya berpendirian kokoh, tidak mudah luntur
ditengah-tengah pergaulan hidupnya, tidak mau menukar agama dengan nilai-nilai
lain,baik berupa keduniaan maupun kedudukan.[5]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa,
kualitas anak ditentukan oleh kedua orang tuanya terutama dalam pembinaan dan
pendidikannya. Oleh karena itu, orang tua berkewajiban untuk mendesain anak
sedemikian rupa agar tercipta remaja-remaja yang berkualitas, baik disegi
pengetahuan maupun dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti
pengetahuan dan pengamalan ibadah shalat lima waktu. Karena anak yang berkualitas akan menentukan masa
depannya dengan kualitas pula.
Berbahagialah anak
yang lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang
saleh, penyayang dan bijaksana. Karena pertumbuhan kepribadian anak
terjadi melalui seluruh pengalaman dan pembiasaan yang diterimanya sejak ia
kecil. Orang tua yang saleh dan penyayang biasanya akan selalu memperhatikan
terhadap pembinaan agama terhadap anak-anaknya sejak dini.
Pembinaan ibadah terhadap
anak merupakan salah satu tanggungjawab orang tua atau orang yang
bertanggungjawab terhadap anak. Pernyataan tersebut sesuai dengan firman
Allah Swt dalam dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 6 yaitu sebagai berikut:
ياأيها الذين امنوا
قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لايعصون
الله ماأمرهم ويفعلون مايؤمرون (التحريم: ٦)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang selalu di perintahkan”. (Q.S
At-Tahrim: 6)
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa menurut perspektif Islam
orang tua dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengarahkan anak ke jalan
yang benar dan lurus menurut tuntunan Islam. Ini dilakukan masyarakat tentunya melalui proses pendidikan dan pengajaran
yang baik kepada remaja. Kewajiban orang tua mendidik anak remaja dapat
ditempuh dalam berbagai cara, seperti pendidikan melalui keteladanan, perintah,
nasihat-nasehat dan sebagainya. Di lingkungan bermasyarakat, sebagai pendidikan
ketiga setelah keluarga dan sekolah, segala perkataan dan tingkah laku masyarakat
harus menjadi contoh teladan bagi anak bahkan prilaku masyarakat sudah
mempengaruhi anak sejak ia masih kecil.
Perkembangan pada
anak akan lebih positif, jika pemantapan ibadah sudah dipupuk pada anak, maka
fase perkembangan mereka dapat dilewatkan tanpa ada hambatan dan penyelewengan
moral dalam kehidupannya. Karena dalam dirinya sudah tertanam nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Seorang anak akan
biasa mengikuti bapak atau ibunya dalam gerakan shalat pada saat dia masih
berusia dua atau tiga tahun, hanya saja pada usia tiga sampai tujuh tahun itu
dia melakukan gerakan-gerakan tersebut tampa tujuan dan agak sulit untuk
mengaitkan antara gerakan-gerakan tersebut. Sedangkan pada usia tujuh tahun
sampai sepuluh tahun, maka ia merupakan periode yang paling baik untuk
mengajari shalat kepada anak secara baik
dan benar, tetapi tidak boleh dilakukan pemukulan terhadapnya (jika tidak
mengerjakannya), karena di masih belum mampu untuk mengemban tanggung jawab
pelaksanaannya.[6]
Usia ini merupakan
periode yang paling baik untuk belajar. Karena apa yang dipelajari oleh seseorang
anak pada periode ini dan menjadi landasan perkembangan dirinya, maka akan
menjadi karekter dan kepribadiannya yang akan terus berlangsung di masa-masa mendatang,
dengan seizin Allah Swt.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka kewajiban mendidik anak untuk melakukan ibadah harus
dilakukan semenjak dini, jangan sampai anak sudah berumur sepuluh tahun, belum
bisa melakukan ibadah shalat, tentu saja ini menyangkut masalah kewajiban
mendidik berwudhu’, sebab ibadah shalat tidak sah bila tidak disertai wudhu’.[7]
Cara mendidik anak
melakukan ibadah shalat secara rutin, bisa dilakukan dengan membiasakan mereka
diajak ke mesjid, diajak berjamaah, menghadiahkan kepada mereka buku tentang
tata-cara melakukan shalat, sehingga seluruh keluarga bisa mendalami syarat dan
rukun ibadah shalat.[8]
Pada usia sepuluh
tahun, seorang anak sudah mampu untuk mengemban tanggung jawab pelaksanaan ibadah
shalat. Mungkin juga baginya untuk menunaikannya, seraya memahami maksud dan
tujuannya. Sebagaimana pada waktu itu ia sudah mampu mengaitkan antara satu
gerakan dengan gerakan lainnya. Oleh kerena itu ia wajib diberikan pukulan jika
ia tidak mau mengerjakannya, kerena tidak ada alasan untuk mengabaikan perintah
shalat, sebagaiman yang berlangsung pada usia tujuh tahun.[9] Pukulan dapat dipahami dengan hukuman,
hukuman bukan hanya dalam bentuk fisik akan tetapi hukuman juga dapat dilakukan
dalam bentuk mental.
Meskipun melaksanak ibadah belum menjadi suatu kewajiban bagi anak, kecuali jika ia sudah baliqh, hanya saja ia harus
diajari sekaligus dibiasakan untuk mengerjakannya pada waktunya, agar dia
melanjutkan kebiasaan tersebut sampai memasuki usia baliqh dan sesudahnya.[10]
Jika seorang anak sudah biasa
mengerjakan ibadah semasa
kanak-kanak, maka akan mudah baginya untuk mengerjakannya sesudah memasuki usia
dewasa, karena dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, shalat dapat
dipandang dari dua sisi yaitu ibadah shalat itu suatu syiar agama; ibadah shalat itu perhubungan antara hamba dengan Khaliqnya (Allah Swt).[11]
Mengingat bahwa ibadah merupakan syiar agama, maka agama
menyuruh supaya orang tua memerintahkan anak-anaknya beribadah ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan menghardik mereka jika tidak mau
mengerjakan ibadah di ketika
mereka telah berumur sepuluh tahun.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa orang tua
merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap pembinaan anak dalam mematuhi perintah Allah Swt, baik dalam pembinaan ibadah seperti
shalat maupun dalam hal-hal lainya yang menyangkut dengan tanggung jawab orang
tua kepada anak-anaknya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw
yang dikutip oleh Baihaqi dalam bukunya Konsep Islam tentang Pendidikan Anak
dalam Rumah Tangga, yaitu:
مروا اولادكم بامتثال الأوامر واجتناب
النواهى فذلك وقاية لهم من النار (رواه ابن جرير)
Artinya: “Suruhlah
putra putrimu mematuhi perintah-perintah (Allah) dan menjahui larangan-larangan
(Allah) karna itulah yang menghindarkan mereka dari (siksaan) neraka”. (HR Ibnu Jarir) [12]
Seorang anak mulai
dari kecil dipelihara dan dibesarkan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada
dalam keluarga baik berupa benda-benda, orang-orang dan peraturan-peraturan
serta adat istiadat yang berlaku dalam keluarga sangat berpengaruh dan
menentukan corak perkembangan anak. Zakiah Daradjat menyatakan:
“Baik buruk keadaan anak ketika dewasa tergantung pada
pendidikan yang di terima waktu kecil, jika ibunya membiasakan ia hemat, sopan
santun, pengasih dan penyayang dan jujur, kelak ketika ia dewasa akan mempunyai
sifat-sifat yang baik, sebaliknya jika waktu kecil tidak di biasakan
berkelakuan baik, sukar di harapkan anak-anak ketika besar menjadi baik dengan
sendirinya”.[13]
Berdasarkan kutipan di
atas, dapat diketahui bahwasanya anak laksana kertas
putih yang belum ternoda apa-apa, tergantung pada yang memiliki kertas tersebut
akan dijadikan hitam atau putih. Bila ini dikaitkan dengan orang tua maka sudah
seharusnyalah orang tua menanamkan ajaran agama kepada anak sejak kecil, apakah
itu dalam bentuk shalat, mengajari mengaji atau mengajar do’a-do’a serta
mengajari untuk hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.
Secara otomatis anak akan terlatih bila semua itu dibiasakan sejak kecil.
Jika dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan
lingkungan pertama bagi anak-anak, karena di
lingkungan keluarga anak mendapat pendidikan yang pertama
melalui kebiasaan-kebiasaan yang dipraktekkan oleh keluarga, kebiasaan ini
mempunyai pengaruh yang kuat bagi kehidupan anak di kemudian hari. Hal ini di
sebabkan di lingkungan keluarga anak memperoleh pembiasaan-pembiasaan sejak ia
dilahirkan, pembiasaan-pembiasan ini akan membentuk dasar kepribadian anak.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa lingkungan keluarga
adalah lingkungan yang pertama dan yang terpenting yang mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya tiap-tiap anak.[14]
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dalam lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pertama pendidikan anak, karena lingkungan keluarga akan
mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka pembinaan
keagamaan khususnya pembinaan ibadah sangat perlu diberikan pembinaan sejak anak masih kecil.
Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Kartini Kartono, yang mengemukakan
bahwa “tradisi, kebiasaan sehari-hari, sikap hidup, cara berfikir dan falsafah
hidup keluarga sangat besar pengaruhnya. Dalam proses membentuk tingkah laku
anak dan sikap anggota keluarga, terutama anak-anak, sebab tingkah laku orang
tua itu mudah sekali menular pada anak-anak”.[15]
Pembinaan ibadah terhadap anak dalam keluarga akan sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari karna pembiasaan sejak kecil tersebut dapat menentukan
tingkah laku anak dalam hidup bermasyarakat ketika ia dewasa kelak. Sebagaimana
Mudjab Mahalli menjelaskan bahwa mendidik anak melaksanakan ibadah shalat, sangat penting artinya bagi kehidupan mereka di
masa-masa mendatang. Sebab di dalam ibadah shalat terkandung nilai-nilai keta’atan dan kedisplinan.
Bila hal ini ditanamkan sejak dini, kelak setelah ia dewasa, akan menjadi insan
yang penuh tanggung jawab dan disiplin dalam melaksakan segala perintah dan
pekerjaan.[16]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibadah
terhadap anak dalam
lingkungan keluarga akan mempengaruhi pendidikan anak ke tahap selanjutnya. Hal
ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ngalim Purwanto berikut ini “Pendidikan
keluarga adalah pedoman atau dasar pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah
maupun di dalam masyarakat.”[17]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembinaan
ibadah
terhadap anak merupakan tugas dan
tanggungjawab yang harus dilaksanakan
oleh setiap
orang tua, karena baik dan buruk keadaan masa
depan anak sangat bergantung kepada
pendidikan dan pembinaan orang tuanya pada saat ia masih
kecil. Oleh kerena itu membina ibadah
shalat kepada anak sejak ia masih kecil sangat perlu
ketekunan dan keteladanan yang baik. Hal ini sebagaimana Zakiah Daradjat mengatakan bahwa: “orang tua hendaklah menjadi contoh yang baik dalam segala
aspek kehidupan bagi anak, karena anak-anak yang berusia di bawah enam tahun, belum dapat memahami suatu pengertian kata-kata seperti
benar dan salah, baik buruk belum dapat digambarkan oleh anak kecuali dalam
pengalaman sehari-hari dengan orang tua dan saudara-saudaranya”.[18]
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa salah satu kewajiban orang tua adalah
penanggung jawab keluarga yaitu memberikan pembinaan dan pendidikan khususnya melatih
pelaksanaan ibadah bagi
anak-anaknya, dan dengan adanya pembinaan yang baik terhadap anak sejak usia
dini, maka kelek ketika ia tumbuh besar akan menjadi anak yang patuh dan ta’at
pada orang tua dan agama, yang pada tujuan akhirnya adalah mencapai kebahagiaan
hidup
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
[1]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, (Kairo: Darul Mutabi’aby, t. t), hal. 118.
[2] Imam
Hafidh Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud,
Juz II, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathabaah, Mustafa Al-Baby Al-Halaby,
1952), hal. 115.
[3]http:
//alfachzie. blogspot. com/ 2012/06/ al-quran-sunnah-rasul-dan-ijtihad. html.
Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.
[4]http:
//alfachzie. blogspot. com/ 2012/06/ al-quran-sunnah-rasul-dan-ijtihad. html.
Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.
[5]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjad Kaya, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004),
hal. 73-74.
[6]Adnan Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2004), hal. 207.
[7]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 536.
[8]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 536.
[9]Adnan
Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita…, hal.
209.
[10]Adnan
Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita…, hal.
209.
[11]Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 34.
[12]Baihaqi
A.K. Disertasi, Konsep Islam Tentang
Pendidikan Anak Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1998), hal. 308.
[13]Zakiah
Daradjat, Pendidikan Agama Dalam
Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 71.
[14]Soelaiman
Yoesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar
Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 75.
[15]Kartini
Kartono dan Jeni Andari, Hygine Mental
dan Kesehatan Mental Dalam Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 167.
[16]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 49.
[17]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Tioritis dan Praktis, (Jakarta: Remaja, 1985), hal. 85.
[18]Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Bulan
Bintang), hal. 42.
No comments:
Post a Comment