Kemunculan
awal agama Islam langsung dihadapkan pada ketidak beresan dan kebingungan permasalahan halal
dan haram. Oleh karena itu perlu di buat undang-undang yang dijadikan sebagai
pedoman dan acuan untuk umat manusia ketika berperilaku dan bertindak agar segala
permasalah dan persoalan yang ada dikembalikan lagi kepada undang-undang yang
ada sehingga tidak ada kebingungan umat manusia mengenai permasalahan halal dan haram.[1]
Permasalahan
merokok sebenarnya merupkan permasalahan yang baru dan belum ada di bahas pada
masa Rasulullah. Hanya saja banyak para
ulama dan cendikiawan islam yang mengkaji permasalahan tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui
hukum dari apa yang tengah dipermasalahkan. Hasil keputusan para ulama dan
cendikiawan inilah yang dikenal dengan ijtihad.
Islam
menetapkan bahwa dasar segala sesuatu yang di ciptakan oleh Allah adalah halal dan mubah, tidak ada
yang di haramkan kecuali ada nash- nash yang sah, tegas, dan kuat dari ajaran
islam yang mengharamkan hal tersebut. Jika tidak ada nash yang sah ataupun
ditemukan hadits tersebut lemah maka hukum dari permasalahan tersebut adalah
mubah atau boleh.[2]
Agama
Islam menentukan hukum sesuai dengan kebutuhan manusia yang dimana sekiranya
hal tersebut akan membawa kebaikan dan kemaslahatan maka hukum nya adalah
mubah, sedagkan jika diperkirakan hal tersebut
akan banyak membawa keburukan dan kemudharatan maka agama islam
dengan tegas akan
melarang dan mengharamkan
hal tersebut, jika tidak layak maka hukum nya di
makrufkan.[3]
Jika berbicara mengenai hukum merokok maka
akan banyak pendapat yang bermunculan. Bahkan di antara para ulama sendiripun
mengalami perbedaan pendapat. Pada dasarnya
terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum merokok, yakni larangan
melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau
kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah
Saw, sebagai berikut:
Artinya: Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Artinya: Dari
Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri),
dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu
Majah, No.2331).
Bertolak dari dua nash di atas, ulama’
sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi
yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak,
dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini terdapat persepsi yang
berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan
dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya
beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Rasulullah Saw melarang menyia-nyiakan
harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang
tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan
membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat
bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan.
Hukum
merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh al-Qur’an dan
Sunnah/Hadits Nabi Saw. Pro-kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke publik
setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan
hukum merokok. Masyarakat merasa bingung karena ada yang mengharamkan, ada yang
meminta pelarangan terbatas, dan ada yang
meminta tetap pada status makruh. Adapun menurut ahli kesehatan,
rokok mengandung nikotin dan zat lain
yang membahayakan kesehatan.[5]
Di
samping kepada perokok, tindakan merokok dapat membahayakan orang lain,
khususnya yang berada di sekitar perokok. Namun di sisi yang lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (dlarar) serta berpotensi terjadinya
pemborosan (israf) dan merupakan
tindakan tabdzir. Secara ekonomi,
penanggulangan bahaya merokok juga cukup besar. Oleh karena itu, fuqaha’
mencari solusinya melalui ijtihad. Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya
digali lewat ijtihad, hukum merokok diperselisihkan oleh fuqaha’.
Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar,
yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si
perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang
berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak
rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Tragisnya kondisi dan demikian
sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Berat dirinya berpuasa
dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari
merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang
shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan
mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian
tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka.
[1]Muhammad Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Islam (alhalalu wal
haromu fil islam, (Singapura: Himpunan Belia Islam, 1986), hal. 13.
[2]Muhammad
Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal
dan Haram…, hal. 14.
[3]
Muhammad Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram…, hal. 18.
[5]Majelis
Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak
1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 895.
No comments:
Post a Comment