Sunday, October 15, 2017

Macam-macam Ibadah

Ibadah dibagi dua bagian, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid dan ibadah itulah merupakan tujuan hidup manusia. Allah berfirman yaitu:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون  (الذاريات: ٥٦)                         
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku”. (QS. Adh-Dhariyat : 56)
Berdasarkan kutipan ayat di atas, dapat dipahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah di permukaan bumi ini adalah untuk mengabdikan diri kepada-Nya dengan cara beribadah (menyembah Allah Swt). Beribadah kepada Allah adakalanya dengan cara yang sudah diatur tata cara pelaksanaanya dan ada yang yang tidak di atur secara baku model atau bentuk ibadah. Untuk lebih jelasnya mengenai kedua macm ibadah tersebut, dapat diketahui melalui penjelasan berikut:
1.      Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya, ibadah mahdhah juga merupakan penghambaan murni yang hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah Swt secara langsung. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah diantaranya seperti Wudhu, Tayammum, Shalat, Puasa, Haji, Umrah dan lain sebagainya.
Hanna Djumhana Bestaman menjelaskan bahwa ibadah mahdhah dapat diartikan berusaha melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Ibadah yang khusyuk sering mendatangkan perasaan tentram, mantap, serta tidak jarang pula menimbulkan perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dan petunjuknya dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.[1]
Menyembah Allah Swt berarti semata-mata memusatkan penyembahan kepada Allah Swt, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri selain kepada-Nya. Pengabdian ini berarti penyerahan mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahir dan batin kepada kehendak Ilahi. Semua dilakukan dengan kesadaran, baik bagi orang-orang dalam masyarakat maupun secara bersama-sama dalam hubungan garis tegak lurus dengan Khaliqnya, juga dalam garis mendatar, yakni dengan sesama manusia.[2]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah mahdhah (ritual), yaitu segala kegiatan yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash             Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibadah dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa penambahan ataupun pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam biasanya digolongkan dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya termasuk jumlah rakaatnya tidak dibenarkan untuk ditambah atau dikurangi. Jika terdapat penambahan atau pengurangan, maka hal itu dinamakan bid’ah.
Adapun ibadah mahdhah tersebut memiliki 4 (empat) prinsip, ke empat prinsip tersebut yaitu sebagai berikut:
a)      Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b)      Tata cara pelaksanaannya harus berpola kepada contoh Rasulullah Nabi Muhammad Saw. Karena salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah Swt adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله (النساء: ٦٤)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…” (QS. An-Nisa: 64)
وماآتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا (الحشر: ٧)                   
Artinya: “Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr: 7)
c)      Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Qur’an, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d)     Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.[3]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah mahdhah merupakan suatu ibadah yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Ibadah mahdhah mempunyai empat prinsip yaitu berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari Al-Quran maupun Al-Sunnah, tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah Nabi Muhammad Saw, bersifat supra rasional, azasnya adalah melaksanakan ibadah dengan kepatuhan atau ketaatan.
2.      Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah qhairu mahdhah (non ritual) yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan niat baik dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah Swt. Teknis pelaksanaan ibadah ini secara operasional diserahkan kepada orang yang akan melakukannya, dengan memperhatiakan situasi dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat dikatakan seluruh amalan yang dizinkan Allah Swt.[4]
Ibadah ghairu mahdhah adalah seluruh perilaku seorang hamba yang diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah Saw.
Ibadah ghairu mahdhah atau umum ialah (tidak murni semata hubungan dengan Allah Swt) merupakan suatu bentuk ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah Swt juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Misalnya belajar, dzikir, saling tolong menolong dan lain sebagainya.
Adapun prinsip-prinsip dalam melakukan ibadah ghairu mahdhah adalah sebagai berikut:
a)      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Swt dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b)      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah Saw, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c)      Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d)     Azasnya “manfaat”, selama perbuatan tersebut bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.[5]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah ghairu mahdhah merupakan suatu ibadah yang keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang, tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah Saw, bersifat rasional dan atas azas manfaat.



[1]Hanna Djumhana Bestaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal., 128-129.

[2]Nasiruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), hal. 44.

[3] http:// sahrunalpilangi. blogspot. com/ 2010/03/ ibadah-mahdah-dan-ghairu-mahdah.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.

[4]http:// alfachzie. blogspot. com/ 2012/06/ al-quran-sunnah-rasul-dan-ijtihad.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.

[5] http:// sahrunalpilangi. blogspot. com/ 2010/03/ ibadah-mahdah-dan-ghairu-mahdah.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.

No comments:

Post a Comment