Ibadah dibagi dua bagian, yaitu ibadah
mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Secara umum ibadah berarti bakti manusia
kepada Allah Swt, karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid dan ibadah
itulah merupakan tujuan hidup manusia. Allah berfirman yaitu:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون (الذاريات: ٥٦)
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku”. (QS. Adh-Dhariyat
: 56)
Berdasarkan
kutipan ayat di atas, dapat dipahami bahwa manusia diciptakan oleh Allah di permukaan
bumi ini adalah untuk mengabdikan diri kepada-Nya dengan cara beribadah
(menyembah Allah Swt). Beribadah kepada Allah adakalanya dengan cara yang sudah
diatur tata cara pelaksanaanya dan ada yang yang tidak di atur secara baku
model atau bentuk ibadah. Untuk lebih jelasnya mengenai kedua macm ibadah
tersebut, dapat diketahui melalui penjelasan berikut:
1.
Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah
atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal
tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya, ibadah mahdhah juga merupakan penghambaan murni yang
hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah Swt secara langsung. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah diantaranya seperti Wudhu, Tayammum, Shalat, Puasa, Haji, Umrah dan lain sebagainya.
Hanna
Djumhana Bestaman menjelaskan bahwa ibadah mahdhah
dapat diartikan berusaha melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan dan
mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Ibadah yang khusyuk sering
mendatangkan perasaan tentram, mantap, serta tidak jarang pula menimbulkan
perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dan petunjuknya
dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.[1]
Menyembah
Allah Swt berarti
semata-mata memusatkan penyembahan kepada Allah Swt, tidak ada yang disembah
dan mengabdikan diri selain kepada-Nya. Pengabdian ini berarti penyerahan
mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahir dan batin kepada kehendak Ilahi.
Semua dilakukan dengan kesadaran, baik bagi orang-orang dalam masyarakat maupun
secara bersama-sama dalam hubungan garis tegak lurus dengan Khaliqnya, juga
dalam garis mendatar, yakni dengan sesama manusia.[2]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah mahdhah (ritual), yaitu segala kegiatan yang ketentuannya telah
ditetapkan oleh nash Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibadah
dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa penambahan ataupun
pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam biasanya digolongkan
dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya termasuk jumlah rakaatnya
tidak dibenarkan untuk ditambah atau dikurangi. Jika terdapat penambahan atau
pengurangan, maka hal itu dinamakan bid’ah.
Adapun ibadah mahdhah tersebut memiliki
4 (empat) prinsip, ke empat prinsip tersebut yaitu sebagai berikut:
a)
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah,
baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak
boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b) Tata cara pelaksanaannya harus
berpola kepada contoh Rasulullah Nabi Muhammad Saw. Karena salah satu tujuan
diutus rasul oleh Allah Swt adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله
(النساء: ٦٤)
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk
ditaati dengan izin Allah…” (QS.
An-Nisa: 64)
وماآتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا (الحشر: ٧)
Artinya: “Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka
ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr: 7)
c) Bersifat supra rasional (di atas jangkauan
akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal,
melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang
disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Qur’an, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
d) Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam
melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini
bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan
kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah
untuk dipatuhi.[3]
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ibadah mahdhah merupakan suatu ibadah yang telah ditetapkan Allah Swt dalam hal tingkat, tata cara dan
perincian-perinciannya. Ibadah mahdhah mempunyai empat prinsip yaitu berdasarkan
adanya dalil perintah, baik dari Al-Quran maupun Al-Sunnah, tatacaranya
harus berpola kepada contoh Rasulullah Nabi Muhammad Saw, bersifat supra rasional, azasnya adalah melaksanakan
ibadah dengan kepatuhan atau ketaatan.
2.
Ibadah Ghairu
Mahdhah
Ibadah
qhairu mahdhah (non ritual) yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan
niat baik dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah Swt. Teknis pelaksanaan
ibadah ini secara operasional diserahkan kepada orang yang akan melakukannya,
dengan memperhatiakan situasi dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat
dikatakan seluruh amalan yang dizinkan Allah Swt.[4]
Ibadah
ghairu mahdhah adalah seluruh perilaku seorang hamba yang
diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari
Rasulullah Saw.
Ibadah ghairu
mahdhah atau umum ialah (tidak murni semata hubungan dengan
Allah Swt) merupakan suatu bentuk ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba
dengan Allah Swt juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan
makhluk lainnya. Misalnya
belajar, dzikir, saling tolong menolong dan lain sebagainya.
Adapun prinsip-prinsip dalam melakukan ibadah ghairu mahdhah adalah sebagai berikut:
a)
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah
Swt dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b)
Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah Saw, karenanya
dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebut nya, segala hal yang tidak dikerjakan
rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah,
sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c)
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya atau untung-ruginya,
manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga
jika menurut logika sehat, buruk, merugikan dan madharat, maka tidak
boleh dilaksanakan.
[1]Hanna Djumhana Bestaman, Integrasi Psikologi dengan
Islam Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal.,
128-129.
[2]Nasiruddin
Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1984), hal. 44.
[3] http://
sahrunalpilangi. blogspot. com/ 2010/03/ ibadah-mahdah-dan-ghairu-mahdah.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.
[4]http:// alfachzie. blogspot. com/ 2012/06/
al-quran-sunnah-rasul-dan-ijtihad.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.
[5] http://
sahrunalpilangi. blogspot. com/ 2010/03/ ibadah-mahdah-dan-ghairu-mahdah.html. Diakses Tanggal. 4 Januari 2014.
No comments:
Post a Comment