Dasar adalah merupakan landasan tempat
berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. Dasar suatu bangunan yaitu fondamen yang menjadi
landasan bangunan tersebut agar bangunan itu tegak dan kokoh berdiri. Demikian juga dasar pendidikan Islam yaitu fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan
berbasis syari'at Islam dapat tegak berdiri tidak mudah roboh karena tiupan
angin kencang berupa ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan
datang. Dengan adanya dasar ini maka pendidikan berbasis syari'at Islam akan tegak
berdiri dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh luar yang mau
merobohkan ataupun mempengaruhinya.[1]
Agama Islam yang bersifat universal memiliki tata cara yang mengatur
totalitas kehidupan termasuk kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu,
masyarakat yang Islami sebagaimana halnya di Aceh meyakini bahwa pendidikan
yang diharapkan dan dipercayai adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan
cara-cara yang Islami sesuai
dengan asas-asas filosofi dan budaya Islam apalagi Aceh sebagai daerah yang
satu-satunya menjalankan syari'at
Islam. Ada beberapa dasar hukum dalam implementasi pendidikan bernuansa Islami di Aceh, yaitu:
Pendidikan
berbasis syari'at Islam sebagai suatu
usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan
semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu di hubungkan.
1. Al-Qur'an
Al-Quran
adalah “kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada hati
Rasulullah anak abdullah dengan lafaz bahasa arab dan makna hakiki untuk
menjadi hujjah bagi Rasullah atas kerasulannya dan menjadi pedoman bagi manusia
dengan penunjuknya serta beribadah membacanya.[2]
Umat
Islam sebagai suatu umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab suci al-Quran,
yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan
bersifat universal, sudah barang tentu dasar pendidikan mereka adalah bersumber
kepada falsafah hidup yang berdasarkan kepada al-Quran.[3]
Muhammad Fadhil al-Jamali seperti yang dikutip oleh Ramayulis menyatakan, bahwa pada
hakikatnya al-Qur'an itu merupakan
perbendarahan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya merupakan kitab pendidikan
kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).[4]
Al-Qur’an
merupakan sumber pertama dan yang paling utama pendidikan berbasis Syari'at
Islam. Al-Qur’an memiliki konsep pendidikan yang utuh, hanya saja tidak mudah
untuk diungkap secara keseluruhannya karena luas dan mendalamnya pembahasan itu
di dalam al-Qur’an disamping juga keterbatasan kemampuan manusia untuk memahami
keseluruhannya dengan sempurna. Dan pendidikan al-Qur’an juga memiliki pengaruh yang
dahsyat apabila dipahami dengan tepat dan diikuti dan diterapkan secara utuh
dan benar. Karenanya menjadikan al-Qur’an sebagi sumber atau pijakan bagi pendidikan
berbasis Syari'at Islam adalah keharusan bagi umat Islam.[5]
Islam
adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran. Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan
dasar hukum tentang pendidikan berbasis syari'at Islam. Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah dalam
al-Qur'an, di antaranya yaitu:
Artinya:
Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah kami.
sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (al-Qur'an) dan tidak pula
mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang
Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syuraa': 52)
Firman
Allah Swt tentang pendidikan berbasis
syari'at Islam dalam al-Qur`an surat al-'alaq
ayat 1 sampai ayat 5, yaitu:
Artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘alaq: 1-5)
Dari
ayat-ayat tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa seolah-olah Tuhan (Allah Swt) berkata hendaklah manusia
meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia (dari segumpal
darah), selanjutnya untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah
melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya,
sebagaimana diketahui bahwa di dalam al-Qur’an banyak dijelaskan ajaran-ajaran
yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan ini. Sebagai contoh dapat
dibaca kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai dengan
ayat 19. Dalam ayat tersebut terdapat 5 azas pendidikan yaitu yang berkenaan
dengan:
a
Azas Pendidikan tauhid
b
Azas Pendidikan akhlaq kepada orang tua dan masyarakat
c
Azas Pendidikan amar
ma’ruf nahi munkar
d
Azas Pendidikan kesabaran dan ketabahan
e
Azas Pendidikan sosial kemasyarakatan (tidak boleh
sombong).[6]
Pendidikan,
karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk
dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut
menentukan corak dan bentuk amal dan kehidupan manusia, baik pribadi
maupun masyarakat. Di dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi
prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu sendiri.[7]
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa
dalam pendidikan berbasis Syari'at Islam harus mengunakan al-Qur’an sebagai
sumber utama dalam merumuskan beberapa teori tentang pendidikan Islam. Atau dengan kata lain, pendidikan berbasis
Syari'at Islam harus berdasarkan
ayat-ayat al-Qur’an yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad
disesuaikan dengan perkembangan zaman.[8]
Dasar ideal pendidikan berbasis syari'at Islam sudah jelas
dan tegas yaitu firman Allah Swt dan
sunnah Rasulullah Saw. Kalau
pendidikan di ibaratkan bangunan maka isi al-Qur’an dan Hadits yang menjadi fundamennya. Al-Qur’an adalah
sumber kebenaran dalam Islam, kebenaran yang sudah tidak dapat di ragukan lagi.
Sedangkan sunnah Rasulullah Saw
yang dijadikan landasan pendidikan berbasis Syari'at Islam adalah
berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Rasullullah Saw dalam bentuk isyarat. Bentuk isyarat ini
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat atau orang lain dan
Rasullullah membiarkan saja dan terus berlangsung.
Pada
masa awal pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad Saw adalah sebagai pendidik pertama,
telah menjadikan al-Qur'an sebagai dasar pendidikan berbasis Syari'at Islam di
samping sunnah Beliau sendiri. Kedudukan, al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan berbasis Syari'at
Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur'an itu sendiri.
Tidak
diragukan lagi, al-Qur’an sebagai dasar pertama, di dalamnya berisi
firman-firman Allah Swt yang disampaikan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad Saw. Kebenarannya tidak dapat diragukan lagi, terutama sebagai petunjuk
bagi orang yang bertaqwa. Al-Qur’an di dalamnya terkandung ajaran pokok yang
prinsip, yaitu menyangkut bidang aqidah yang harus diyakini dan menyangkut
dengan amal yang disebut syari’ah.
Pendidikan
berbasis syari'at Islam yang berlandaskan al-Qur'an yaitu memenuhi keimanan, ibadah,
akhlak, dan ilmu pengetahuan atau paling tidak mengandung dua prinsip dasar
yaitu yang berhubungan dengan masalah aqidah (keimanan) dan yang berhubungan
dengan amal (iman dan amal
shaleh). Pendidikan berbasis Syari'at Islam harus menggunakan al-Qur'an sebagai landasan dan sumber utama
karena pendidikan ikut menentukan corak dan bentuk amal ibadah dan kehidupan
manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial dan anggota masyarakat yang sekaligus
pendidikan tersebut mendukung tujuan hidup manusia sesuai dengan isi al-Qur'an.
1 Al-Hadits
Al-Hadits
adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang disebutkan dalam al-Qur'an
dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah Saw dengan sunah beliau.
Karena itu, sunah Rasul yang kini terdapat dalam al-Hadits merupakan penafsiran
serta penjelasan otentik (sah, dapat dipercaya sepenuhnya) al-Qur'an.
Di
dalam al-Hadits juga berisi ajaran tentang aqidah dan akhlak seperti al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah
pendidikan. Al-Hadits berisi petunjuk (tuntunan) untuk kemaslahatan hidup
manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat manusia seutuhnya. Dan yang
lebih penting lagi dalam al-Hadits bahwa dalamnya terdapat cerminan tingkah laku
dan kepribadian Rasulullah Saw yang merupakan tauladan dan edukatif bagi
manusia.[9]
Al-Hadits
dapat dijadikan dasar pendidikan
berbasis syari'at Islam karena al-Hadits hakikatnya tidak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur'an itu sendiri, di samping memang sunnah merupakan sumber utama pendidikan Islam karena karena Allah Swt menjadikan Nabi Muhammad
Saw sebagai teladan bagi umatnya.[10]
Menurut Ahmad
menjelaskan bahwa di dalam dunia pendidikan, hadits memiliki dua
manfaat pokok. Manfaat pertama, hadits mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur’an, serta lebih merinci penjelasan al-Qur’an. Kedua, hadits dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan
metode pendidikan.[11]
Banyak tindakan mendidik yang telah dicontohkan Rasulullah dalam pergaulan
bersama para sahabatnya. Muhammad Quthb menerangkan bahwa pribadi Rasulullah
Saw sendiri merupakan contoh hidup serta bukti kongkrit sistem dan hasil
pendidikan Islam.[12] Oleh karena
itu, maka hadits
menjadi landasan dan sumber kedua setelah al-Qur'an. Di dalam hadits diajarkan tentang aqidah, syari’ah dan
akhlak seperti al-Qur'an, yang juga berkaitan dengan masalah pendidikan. Namun yang paling penting dalam al-Hadits adalah bahwa di dalamnya terdapat
cerminan tingkah laku dan kepribadian Rasulullah Saw yang menjadi suri tauladan dan harus diikuti oleh
setiap muslim sebagai satu model kepribadian Islam.
pendidikan
berbasis syari'at Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan
emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia
mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus
mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah tergambar secara utuh
dalam dalam suatu konsep dasar yang kokoh. Islam pun telah menawarkan konsep akidah
yang wajib diimani agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya
pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islam. Perilaku yang dimaksud
adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia
itu. Aspek keimanan dan
keyakinan menjadi landasan aqidah yang mengakar dan integral serta menjadi
motivator yang menggugah manusia untuk berpandangan ke depan serta optimis,
sungguh-sungguh dan kesadaran. Sudah barang tentu kesemuanya ini berdasarkan
pada suatu sumber pokok yaitu al-Qur’an
dan hadits.
2 Undang-Undang
Hukum Islam atau yang biasa disebut syari’at Islam adalah salah satu
aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam,
karena ia merupakan manifestasi paling konkrit dari Islam sebaagai sebuah agama.
Menurut
Undang-undang Negara Indonesia secara
formal pendidikan Islam mempunyai dasar yang cukup
kuat. Pancasila merupakan dasar setiap tingkah laku dan kegiatan bangsa
Indonesia, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertama, berarti menjamin setiap warga Negara untuk memeluk, beribadah, dan
menjalankan aktifitas yang berhubungan dengan pengembangan agama, termasuk
melaksanakan pendidikan agama Islam.
Dengan
demikian, dasar yuridis pelaksanaan pendidikan berbasis syari'at Islam berasal
dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal
tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:
a
Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara
Pancasila, sila pertama; Ketuhanan yang Maha Esa.
b
Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD 45
dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas
Ketuhanan yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.
c
Dasar operasional, yaitu terdapat dalam UU RI
NOMOR 20 Tahun 2003 SISDIKNAS Pasal 30 Nomor 3 pendidikan keagamaan dapat di
selenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informa.[13]
Dan terdapat pada pasal 12 No 1/a setiap peserta didik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.[14]
Dengan
demikian, secara umum
pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia telah memdapatkan landasan hukum yang
kuat. Hal ini dapat dipahami maksud dari bunyi pasal 29 ayat (1) UUD 1945.
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ichtijanto, dengan penegasan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 (1)
tersebut, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Hukum Dasar dari Hukum Positif
Indonesia; seluruh rakyat Indonesia mentaatinya. Dengannya dimaksudkan agar
rakyat Indonesia selalu memandang dan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai Hukum yang mengikat setiap saat bagi karyanya dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.[15]
Apabila kita menilik pada sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945,
maka rumusan bunyi pasal 29 tersebut di atas, adalah merupakan hasil kompromi
yang diperoleh oleh umat Islam, karena sebelumnya umut Islam melalui
tokoh-tokoh Islam mengusulkan rumusan yang berbunyi dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Adapun jika dikaji dari aspek
Psikologi, maka dasar yang berhubungan
dengan aspek kejiwaan masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidup manusia
baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada
hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan
pegangan hidup yaitu agama.[16]
Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila umat Islam menuntut kepada
pemerintah untuk memberikan peluang atau kemudahan bagi umat Islam dalam
menjelankan ajaran agama Islam secara komprehensif, tidak saja aspek ibadah
dalam arti sempit, akan tetapi juga pada aspek ibadah dalam arti luas, termasuk
bidang pendidikan, muamalah,
aspek sosial, politik dan ekonomi
dan lain sebagainya.
3 Otonomi
Setelah MoU perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM ditanda-tangani
pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finland, pemerintah kemudian mengeluarkan UU
No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini sebagai komitmen
politik pemerintah Indonesia dalam menindaklanjuti hasil dari perjanjian damai
di Helsinki. Salah satu kewenangan (otonomi/self-government)
yang diberikan dalam undang-undang tersebut adalah melaksanakan syari'at Islam di Aceh secara kaffah,
baik dalam hal ibadah, pendidikan, muamalat,
syi’ar (dakwah), hukum perdata dan juga dalam hal hukum pidana.[17]
Prinsip inilah yang kemudian melahirkan landasan hukum bagi penerapan
syariat Islam di Aceh. Dalam pasal (125) UU No.11 tahun 2006 ayat (1)
disebutkan bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi beberapa hal,
antara lain: (1) aqidah, (2) syariah dan (3) akhlak. Pasal ini dijelaskan lebih
rinci dalam ayat 2 (dua) yaitu syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat 1
(satu) meliputi ibadah, ahwal
al-syaksiyah (hukum keluarga/perdata), muamalah
(hukum ekonomi), jinayat (hukum
pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar
dan pembelaan Islam.
Otonomi khusus di Aceh yang disertai pengimplementasi syari'at Islam tentunya bersifat multi dimensi,
mencakup berbagai aspek dalam
kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dibidang pendidikan. Khusus mengenai
bidang pendidikan, pemerintah Aceh dalam upaya meningkatkan kapasitas
pendidikan daerah telah ditetapkan melalui Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan
ini dijalankan dalam rangka mengakomodir dan mengimplementasikan sistem
pendidikan yang berlandaskan syari’at Islam di daerah ini. Hal ini sebagai mana
dituangkan dala pasal 12 yang menyebutkan bahwa “sistem pendidikan provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam adalah pendidikan yang berdasarkan sistem pendidikan
nasional yang disesuaikan dengan nilai-nilai Sosial budaya daerah serta tidak
bertentangan dengan syari’at Islam”.[18]
Mencermati penjelasan pasal 12 tersebut dan urgensi dari desentralisasi
administratif serta desentralisasi kebijakan pendidikan lokal diatas maka, ada
tiga aspek yang harus diperhatikan dalam sistem pendidikan Aceh, yaitu: Pertama, sistem pendidikan nasional harus
menjadi patron dan standar dalam pendidikan yang dilaksanakan di Aceh. Kedua, Aspek sosial budaya (adat
istiadat) dan seluruh nilai-nilai lokal (local value) atau kearifan
lokal (local wisdom) menjadi potensi daerah yang patut dihargai dan
menjadi bahagian dalam mewarnai sistem dan isi pendidikan di Aceh. Ketiga, syari'at Islam harus dijadikan sebagai dasar dalam pembangunan
pendidikan. seluruh aspek pendidikan yang dilaksanakan di Aceh mesti dijiwai
serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari’at Islam.
Secara lebih jelas, bahwa
implementasi penerapan pendidikan berbasis syari'at Islam di Aceh memiliki dasar hukum yang sangat kuat baik dari segi agama
Islam, Undang-undang pemerintah Indonesia maupun otonomi khusus provinsi Aceh, yaitu sebagai berikut:
a
Al-Qur’an dan Hadits,
b
Undang-Undang Dasar 1945,
c
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional,
d
Undang-Undang No. 7 (DRT) Tahun 1956 tentang
pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam wilayah provinsi Sumatera Utara,
e
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah,
f
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Provinsi
NAD,
g
PERDA No. 6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan
Pendidikan di daerah Istimewa Aceh,
h Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh
No. 2/ Instr/ tahun 1999 tentang pembudayaan suasana pendidikan yang bernuansa
islami di sekolah-sekolah dalam provinsi Istimewa Aceh,
i
Qanun Nomor
23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan,
j
UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan
Bahkan di dalam Qanun
Aceh No. 5 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan di Aceh, Bab III pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa "Sistem
pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai
Islami".[20]
Dengan demikian, maka pendidikan
berbasis syari'at Islam semestinya
menjadi agenda utama dalam proses penerapan syari'at Islam di Aceh. Sebab, tidak diragukan
lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islam yang komperhensif pintu gerbang
kebangkitan Islam dan umatnya bisa dibuka. Hanya dengan Islamisasi Pendidikan
cita-cita syari'at Islam yang
kaffah di Aceh menjadi mungkin untuk
diimpikan. Berbagai ketimpangan yang terjadi selama ini, baik pada ranah individual,
masyarakat maupun tatanan negara, justru
karena nilai-nilai pendidikan Islam belum diterapkan secara sempurna, atau
bahkan tidak diterapkan sama sekali. Sehingga cita-cita pendidikan untuk
melahirkan peserta didik yang memiliki karakteristik utuh sebagai sosok pribadi
yang shaleh secara individual dan sosial masih jauh dari harapan.
[5]Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah
dan Masyarakat, (Jakarta, Gema Insani, 1983), hal. 28.
[6]Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Kisah-Kisah al-Qur'an Pelajaran Orang-orang
Dahulu, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2000), hal. 147.
[12]Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan Islam,
terj. Salman Harun, (Bandung: Alma’arif, 1984), hal. 13.
[16]Zuhairini, dkk, Metodik
Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Malang, 1983), hal. 21.
[17]Pasal
125 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[19]Tim
Penyusun, Panduan Umum Pelaksanaan
Pendidikan Bernuansa Islami Kabupaten Aceh Besar, (Aceh Besar: TB
Taufiqiyah Utama, 2002), hal. 5.
No comments:
Post a Comment