Oleh: Muhammad Syarif, S.Pd.I., MA
(Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah
Banda Aceh)
Assalamu alaikum wa
rahmatullah wa barakaatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدِّيْنَ, أَمَّا بَعْدُ
Kaum muslimin yang berbahagia
Tiada
kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran
Allah Swt karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini,
kita masih diberikan kekuatan, nafas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh
bulan Ramadhan 1438 Hijiriah ini. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang
penuh dengan
keberkahan, di mana seribu bulan lain
tiada cukup dijadikan sandingannya. Bulan yang di dalamnya dilipatgandakan
pahala tentu kaum muslimin tidak ingin rugi dalam meraup "keuntungan"
dalam bentuk amal yang berlipat ganda.
Wahai kaum
muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak
disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan
sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya
tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat
menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah
atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa
melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita,
memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan
Ramadhan di tahun ini.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat
Islam, karena Allah Swt
memberikan discount dan bonus besar-besaran serta mengobral
pahala. Allah Swt melipatgandakan pahala kebaikan yang dilakukan setiap manusia hingga 10 bahkan sampai 700 kali lipat.
Hal ini seperti hadits Nabi yang artinya:
“Semua amalan anak adam akan dilipatgandakan (balasannya),
satu kebaikan akan dibalas dengan 10 sampai 700 kali lipat.” Allah Swt
berfirman: “Kecuali puasa, sesungguhnya itu untuk-Ku, dan Aku yang langsung
membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR. Muslim)
Selama
bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk selalu menegakkan ketaatan kepada Allah
Swt, di samping melaksanakan
kewajiban puasa. Banyak amal ibadah yang kita lakukan sebagai wujud menegakkan
bulan Ramadhan, di antaranya yaitu shalat
qiyamul lail dan membaca Al-Qur’an.
Sebagaimana
yang dituliskan oleh Imam Al-Shan’any dalam kitabnya Subulus-Salam,
“Menegakkan bulan Ramadhan, yaitu menegakkan malam bulan Ramadhan dengan shalat atau membaca Al-Qur’an.” (Juz II, hlm: 173)
“Menegakkan bulan Ramadhan, yaitu menegakkan malam bulan Ramadhan dengan shalat atau membaca Al-Qur’an.” (Juz II, hlm: 173)
Ketika
sudah masuk pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini, semua orang setiap habis
shalat ashar, shalat tarawih, dan bahkan shalat subuh, mereka akan
berlomba-lomba untuk membaca Al-Qur’an dan sebanyak mungkin untuk
mengkhatamkannya. Di meunasah dan masjid, suara membaca Al-Qur’an silih berganti
terdengar. Memang membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan berbeda ketika dibaca di
sebelas bulan yang lain. Di bulan-bulan biasa ketika membaca satu huruf, kita
akan diberi balasan pahala dengan sepuluh kebaikan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam kitab Allah, maka baginya
satu kebaikan, dan setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Saya tidak
mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf,
dan mim satu huruf.” (HR.
Tirmidzi).
Serangkaian ibadah-ibadah yang kita lakukan tersebut
di bulan Ramadhan merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan kita kepada Allah
Swt. Dan ini semua akan bermuara pada proses pencapaian tingkat ketaqwaan kita
kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertaqwa. (QS. al-Baqarah: 183).
Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh
Allah Swt
Apa
yang dimaksud dengan Taqwa?
Secara bahasa, kata taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah
(Arab), yang berarti takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab, dan
memenuhi janji dan kewajiban. Secara istilah, taqwa
mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan
meninggalkan segala dilarang Allah Swt dan melaksanakan
segala yang diperintahkan-Nya”. Al-Qur’an menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa
dengan muttaqi, jamaknya muttaqin, yang berarti orang yang bertaqwa.
Karena
itu orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah, mengerjakan
segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang taqwa adalah
orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan, tidak mengikuti hawa
nafsunya, memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai
Allah, bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatannya, dan
memenuhi janji dan kewajibannya.
Taqwa merupakan bukti keimanan.
Perintah taqwa menembus dimensi ruang dan waktu serta menuntut totalitas
individu dalam melaksanakannya, dalam menjalankan ketaqwaan terhadap Allah
dapat dilakukan dalam bentuk hati, lisan dan perbuatan.
-
Dalam Hati: selalu yang ada di hati hanya mengagumi
kebesaran Allah yang telah memberikan rahmat kepada kita, apakah nikmat Islam,
iman ataupun nikmat yang bersifat kesenangan duniawi yang tujuannya semata-mata
agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
-
Dalam Lisan: Apa yang kita ucapkan dalam kehidupan
sehari-hari selalu bermanfaat, seperti: zikir, berdakwah, tidak mengeluarkan
kata-kata yang tidak baik.
-
Dalam Perbuatan: Amalan yang diperintahkan oleh Allah
selalu kita kerjakan bukan hanya shalat, puasa, zakat, haji, tapi segala amalan
atau perbuatan dalam kehidupan yang dilandaskan syari’at baik itu fardhu,
wajib, sunah, mubah dan makruh dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh
Allah, seperti mencuri, membunuh, berzina, minum-minuman keras, dan lain-lain.
Kedudukan taqwa bagi seorang muslim
sangat penting dalam kehidupannya, bahwa taqwa memiliki jalan yang apabila
jalan itu ditempuh maka taqwa akan menjadi watak (malakah) di dalam hati yang
akan melahirkan perilaku sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah.
Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh
Allah Swt
Antara Puasa dan Taqwa
Puasa adalah bentuk amalan yang
harus dilaksanakan oleh umat Islam pada bulan Ramadhan agar menjadi orang yang
bertaqwa (laalakum tattaquun). Maksud
(laalakum tattaquun) sebagaimana
dijelaskan dalam Tafsir Jalalain adalah “menjaga dirimu dari maksiat, karena
puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi
maksiat itu”. Dalam Tafsir Muyassar disebutkan bahwa, sesungguhnya dalam puasa
itu terdapat hal-hal yang dapat mengantarkan manusia kepada ketaqwaan. Hal-hal
tersebut di antaranya adalah; “ketaatan dalam melaksanakan perintah, mematahkan
nafsu amarah, belajar sabar, menjauhi larangan, melawan hawa nafsu, memerangi
setan dan kesungguhan dalam beribadah”.
Pengertian takwa ialah memelihara
dan menjaga diri dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan
yang bisa mendatangkan siksaan-Nya. Cara yang harus ditempuh untuk
merealisasikan hal tersebut adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Menjaga jiwa dari perbuatan dosa dan nafsu
syahwat, serta membersihkan diri dari berbagai macam perilaku (akhlak) tercela.
Setiap muslim wajib membekali
ketaqwaan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Ketaqwaan adalah esensi dan
tujuan dari kewajiban berpuasa. Jika orang yang berpuasa mampu merealisasi
ketaqwaan dan selalu bermuraqabah (kontrol) Allah dalam segala kondisi dan
situasi, sesungguhnya dia telah memberi manfaat dari puasa tersebut. Dia telah
mendapatkan buah dari hasil terbesar dari puasa itu yaitu ketaqwaan kepada
Allah Swt.
Seseorang yang berpuasa meninggalkan
segala yang dilarang oleh Allah swt semata-mata karena berupaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt dan mengharapkan pahala dari-Nya walaupun
jiwanya cenderung dan senang kepada hal-hal yang membatalkan puasa.
Melaksanakan ibadah puasa agar
menjadi umat yang bertaqwa tidaklah mudah. Tetapi jika semual hal-hal yang
dilarang dalam agama yang ada kaitannya dengan puasa dan melaksanakan segala
rukun dan syarat puasa itu serta melaksanakan segala perintah Allah yang berupa
amalan-amalan yang menunjang sahnya puasa seseorang muslim di jamin oleh Allah
akan menjadi orang yang muttaqin dan janji Allah terhadapnya yaitu syurga
Rayyan. Puasa sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan spiritual. Seorang
yang menjalankan puasa harus mengekang diri dari tuntutan biologis dan nafsu
duniawi dalam upaya pembersihan jiwa seperti makan, minum dan melakukan
hubungan seks, demi menjalankan perintah Allah. Tentu saja seseorang yang harus
mengekang dirinya akan merasakan berat, walau dilakukan demi menjalankan
perintah Allah. Sepanjang bulan Ramadhan ia terus menahan diri dengan penuh
kesabaran dan menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Seandainya rasa takut
terhadap larangan Allah dan meninggalkan puasa tidak ada pada dirinya, maka ia
takkan tahan melakukan puasa. Tentu saja dengan membiasakan diri dalam hal ini,
akan tertanam dalam jiwanya rasa ikhlas dalam menjalankan perintah Allah, dan
rasa malu jika melanggar larangan-larangan-Nya. Dalam hal ini berarti seseorang
yang berpuasa sedang melatih jiwanya untuk senantiasa muraqabatullah (sikap
merasa diawasi oleh Allah) walaupun ia tidak melihat-Nya.Lapar dan
haus dipilih sebagai cara untuk mencapai tujuan puasa. Tetapi lapar dan haus
itu sendiri bukanlah tujuan berpuasa. Karena itu, janganlah kita keliru
menjadikan lapar dan haus sebagai tujuan puasa, baik secara sengaja maupun
tidak. Dalam konteks inilah kritik Rasulullah tentang orang yang hanya
mendapatkan lapar dan haus dalam berpuasa. Harus kita sadari bahwa dalam
beribadah kita sering terjebak pada ‘menjadikan tata cara’ sebagai tujuan
beribadah. Tujuan utama puasa adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar
menjadi lebih terkendali atau dalam istilah agama menjadi lebih bertakwa.
Puasa itu mempersempit jalannya
setan, ketahuilah bahwa setan itu berjalan dalam tubuh manusia melalui aliran
darahnya. Puasa akan melemahkan pengaruh setan yang selalu menggoda manusia
untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa sehingga perbuatan maksiat
dapat terminimalisir pada bulan puasa dibandingkan dengan bulan-bulan lain.
Tentu ini semua juga merupakan salah satu cara untuk melahirkan perangai taqwa
dalam diri manusia.
Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh Allah
Swt
Ramadhan belum menjamin ketakwaan
seseorang selamanya. Menjadi bertakwa merupakan sebuah proses untuk kembali
kepada fitrah kita sebagai manusia, dengan terus berbuat baik kepada diri
sendiri, orang lain, lingkungan dan kepada Sang Pencipta. Takwa seperti inilah
yang dipatok sebagai tujuan puasa. Jadi, puasa dikatakan berhasil jika puasa
tersebut membawa dampak positif dalam kualitas hubungan kepada empat segmen
tersebut.
Untuk mengukur gambaran yang
komprehensif tentang efek puasa dalam kehidupan nyata, minimal ada tujuh
parameter yang perlu diperhatikan; (1) Badan lebih sehat, (2) Emosi lebih
rendah dan terkontrol, (3) Fikiran lebih jernih, (4) Sikap lebih bijaksana, (5)
Hati lebih lembut dan peka, (6) Ibadah lebih bermakna, (7) Lebih tenang dan tawadhu’
dalam menjalani hidup. Ketujuh parameter ini dapat digunakan untuk mengukur
berhasil tidaknya puasa seseorang dalam mengubah karakternya menjadi pribadi
yang bertakwa.
Di dalam Islam, puasa mempunyai
tujuan di dalam rangka takwa terhadap Allah, sebagaimana dijelaskan pada akhir
ayat yang berbunyi: “Agar kamu bertakwa”. Pengertian takwa ialah menjaga diri
dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan yang bisa
mendatangkan siksaan-Nya. Cara yang harus ditempuh untuk merealisasikan hal itu
ialah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Juga menjaga dan memelihara jiwa dari perbuatan dosa dan
nafsu sahwat, serta membersihkan diri dari berbagai macam perilaku (akhlak)
tercela. Menariknya adalah Allah menggunakan premis la’allakum (mudah-mudahan), yang menunjukkan bahwa tidak semua
orang yang berpuasa pasti bertakwa. Tergantung bagaimana dia melaksanakannya.
Sesuai dengan ajaran Rasulullah atau tidak. Kedua adalah digunakannya
verba mudhâri’ yang berarti bahwa
takwa seseorang itu naik turun. Besar kecilnya jiwa takwa sangat tergantung
pada konsistensi kita dalam menjaganya. Jika hanya selama Ramadan kita
menjaganya, di luar Ramadan kita kembali menjadi pribadi yang jauh dari takwa.
Artinya puasa Ramadhan belum menjamin ketakwaan seseorang selamanya.
Perlu disadari bahwa puasa pada
bulan Ramadhan itu merupakan proses pelatihan menata diri agar bisa mengimplementasikan praktek puasa dan
mentransformasikan nilai-nilai akhlak pada
bulan Ramadhan itu dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan Ramadhan agar
selalu menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah umat Islam
berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung
serba boleh. Setiap detik manusia selalu diperhadapkan dengan hal-hal yang
dilarang agama akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaannya, ditambah lagi
kondisi religius yang kurang mendukung. Kehidupan modern telah membuat sebagian
manusia lupa akan hakekat manusia sebagai hamba Allah Swt yang wajib beriman
dan bertaqwa kepada-Nya Mereka sibuk mencari kepuasan dan kenikmatan duniawi.
Mereka lebih mementingkan kebutuhan materi ketimbang kebutuhan rohani. Semua
rela mereka korbankan hanya untuk memenuhi nafsu semata. Dalam hal ini sebagai
hamba Allah yang beriman kita harus selalu berusaha membentengi diri kita
dengan taqwa agar menjadi hamba Allah yang tidak terpedaya dengan gemerlapnya
dunia moderen. Hal ini bisa kita lakukan dalam puasa Ramadhan sebagai ajang
latihan untuk menghadpi persoalan tersebut di atas agar kita bisa sampai kepada
tujuan yang hakiki dari puasa itu yaitu agar menjadi orang yang bertaqwa. Tapi
pada kenyataannya puasa yang dilakukan sekarang kurang sesuai dengan ketentuan
syar’i. Terkadang hanya persoalan sepele kaum muslimin menumpahkan kemarahannya
yang luar biasa dan mereka mengatakan ini adalah akibat dari reaksi alami yang
diakibatkan karena puasa. Hal seperti ini bertentangan dengan taqwa yang
merupakan tujuan utama disyari’atkannya ibadah puasa. Banyak umat Islam yang
berpuasa tapi tak mendapat apa-apa, hanya lapar dan dahaga saja. Karena mereka
tidak tahu apa hakekat dari puasa itu sendiri dan seperti apa yang dimaksud
orang bertaqwa. Padahal hakekat puasa itu adalah pengendalian diri atas segala
hal yang dilarang oleh Allah sesuai dengan ketentuan syari’at Islam sedangkan
taqwa adalah sejauh mana kita memelihara dan menjaga segala bentuk-bentuk
amalan yang dilakukan baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Puasa
yang dijadikan sebagai ajang latihan menata diri dan melatih diri agar kelak
setelah keluar dari bulan Ramadhan bisa ditransformasikan nilai-nilai akhlak yang baik dalam kehidupan
sehari-hari tapi kebanyakan dari mereka tidak memahami hal itu. Mereka
beranggapan bahwa setelah keluar dari bulan Ramadhan mereka bebas lagi
melakukan hal-hal yang mereka inginkan walaupun itu melanggar perintah Allah.
Realitas membuktikan bahwa sosialisasi takwa yang berbentuk syari’at seperti
puasa dan lain-lain yang walaupun pada hakekatnya taqwa itu sudah tertanam
dalam ibadah puasa itu tapi terlihat belum mengena sasaran. Ini dikarenakan
beberapa faktor, diantaranya yang pertama,
muslim yang bersangkutan belum paham betul makna taqwa itu sendiri. Yang kedua, ketidak tahuannya tentang
bagaimana, dari mana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa itu. Perlu
mewujudkan suatu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa. Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua umat Islam untuk mengajarkan
kepada sesama muslim agar paham dengan sebenar-benarnya tentang puasa yang
bagaimana yang bisa mengantarkan kita agar menjadi orang yang bertaqwa.
Puasa adalah ibadah yang dapat
menanamkan rasa ikhlas, dan merupakan amanat antara khaliq dan makhluknya.
Seandainya puasa itu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
digariskan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an dan Hadistnya, InsyaAllah kita akan
mendapatkan hidayah dan rahmat yang besar dalam mengarungi kehidupan modern
seperti sekarang ini yang mana di dalamnya banyak hal-hal yang tidak sesuai
dengan syariat Islam. Dengan puasa ini bisa membentengi diri kita untuk
menghadapi berbagai persoalan hidup yang akan mengantarkan kita menjadi hamba
Allah yang muttaqin.
Amiin ya
Rabbal ‘alamiin
Wassalamualaikum
Warahmatullahi wabarakatuhu
No comments:
Post a Comment